29 February 2012

Chart Of Account

Persyaratan bagan akun standar perusahaan adalah salah satu faktor paling penting dalam keputusan proses seleksi software. Persyaratan bagan akun buku besar harus ditentukan dalam fase "Analisis Kebutuhan” sistem seleksi dan desain. Analisis Kebutuhan ini harus melibatkan setiap anggota tim manajemen yang akan mengandalkan pada data keuangan untuk membantu mengelola bidang tanggung jawab mereka. Format bagan rekening dan pemilihan rekening harus menyediakan data yang memadai untuk mengelola bisnis, sementara itu juga harus memenuhi seluruh aturan persyaratan dari sebuah organisasi secara tepat, tapi tetap mampu menghindari hal-hal yang sepele atau tidak diperlukan. Sebuah sistem yang baik akan memberikan peluang untuk ekspansi secara efisien / modifikasi dari sistem manajemen informasi sebagai penunjang kebutuhan manajer 'berubah berdasarkan perubahan lingkungan bisnis.
Penyajian bagan akun harus didesain sesuai dengan kebutuhan informasi manajemen. Contoh faktor yang harus dipertimbangkan ketika menentukan chart account desain mencakup sekarang atau masa depan perlu untuk:
  1. Data Dimensi Bisnis yang mencakup aspek-aspek utama perusahaan untuk membangun sistem nilai dan rasio manajemen/kinerja perusahaan.
  2. Data proyek dan kegiatan (beban produksi/proyek yang menjadi beban dan ditagihkan).
  3. Data regional atau wilayah.
  4. Data produk lini.
  5. Data pelanggan, supplier, karyawan.
  6. Pengeluaran internal (yaitu rincian biaya perjalanan & hiburan, biaya memenuhi syarat untuk evaluasi kredit pajak, dan biaya yang tidak dipotongkan ke karyawan).
  7. Persyaratan otoritas perpajakan lokal, dgn kata lain. lokasi properti & perlengkapan dengan yurisdiksi perpajakan.
  8. Laba – rugi.
  9. Mengukur tujuan strategis.
  10. Faktor-faktor lain yang signifikan yang diidentifikasi oleh manajemen.
Tidak semua faktor yang diidentifikasi, akan bertahan keputusan akhir dari komposisi yang dibutuhkan dari basis data keuangan. Faktor-faktor yang diidentifikasi memungkin sistem dapat mengenali dan mengembangkan diri, akan menentukan jumlah bidang yang dibutuhkan dan ukuran dari nomor rekening.  Sistem aplikasi harus fleksibel untuk memenuhi kebutuhan informasi dan pendekatan yang bisa berubah dengan cepat.  Namun demikian, tujuan utama pembuatan bagan akun adalah untuk menjaga bagan akun dalam format sederhana, logis dan terukur.
Sistem Pengkodean.
Setelah bagan struktur akun diidentifikasi, kelas-kelas tertentu yang umumnya diikuti untuk mengembangkan kode rekening khusus, seperti yang ditunjukkan dalam contoh berikut bagan akun:

XX .. 1XXXXX - Aktiva  adalah  Aktiva umumnya nomor dalam rangka likuiditas aktiva, yaitu sebagai 11XXX .. XX .. Kas, 12XXX…XX sebagai Piutang, dan sebagainya.

Namun mungkin ada pengecualian, karena beberapa industri, seperti utilitas publik cadangan .. 11XXX … XX urutan untuk biaya Aktiva Tetap, sebagai aset seperti mendominasi neraca.

2XXXXX .. XX - Kewajiban

3XXXXX .. XX - Pemilik / Pemegang Saham Ekuitas

4XXXXX .. XX - Pendapatan

5 XXXXX .. XX - Harga Pokok Penjualan & Jasa

6 XXXXX .. XX - Penjualan, dan Administrasi Umum &
Sistem penomoran ini hanya contoh, setiap perencana bagan akun bisa berbeda-beda pendekatannya.

Bagan Akun Standar

Dalam akuntansi, bagan akun standar adalah daftar nomor akun yang terdiri dari buku besar perusahaan. Bagan rekening perusahaan pada dasarnya merupakan sistem pengarsipan untuk mengelompokkan semua account sebuah perusahaan dan mengelompokkan semua transaksi sesuai dengan account mereka mempengaruhi.  Bagan rekening daftar kategori mungkin termasuk aktiva, kewajiban, ekuitas pemilik, pendapatan, harga pokok penjualan, biaya operasi, dan akun lain yang relevan. (Lihat bagan akun contoh di bawah ini). Bagan akun standar kadang-kadang juga disebut bagan akun seragam.

Sebuah bagan akun standar diatur sesuai dengan sistem numerik. Setiap kategori utama akan dimulai dengan nomor tertentu, dan kemudian di sub-kategori dalam kategori besar semua akan dimulai dengan nomor yang sama. Sebagai contoh, jika aktiva tersebut diklasifikasikan dengan nomor yang dimulai dengan 1 digit, maka rekening kas mungkin diberi label 101, piutang mungkin diberi label 102, persediaan mungkin diberi label 103, dan seterusnya. Dan jika account kewajiban diklasifikasikan berdasarkan nomor yang dimulai dengan 2 digit, maka hutang akan diberi label 201, utang jangka pendek mungkin akan diberi label 202, dan seterusnya.

Tergantung pada ukuran perusahaan, bagan rekening mungkin termasuk rekening beberapa lusin atau mungkin meliputi beberapa ribu rekening. Tergantung pada kecanggihan dari perusahaan, bagan akun dapat kertas-based atau berbasis komputer. Bagan akun berguna untuk menganalisis transaksi masa lalu dan menggunakan data historis untuk memperkirakan tren masa depan.

Prinsip dasar yang harus dijunjung oleh semua aturan prinsip-prinsip ini meliputi konsistensi, relevansi, reliabilitas, dan komparatif.

Di bawah ini adalah contoh tabel rekening yang dapat digunakan untuk membuat buku besar umum dari banyak perusahaan. Kita dapat menyesuaikan COA (Chart of Account) dengan industri yang sesuai untuk ditambahkan Inventaris, Bagian Pendapatan dan Biaya Pokok Penjualan.  Penyesuaian dengan bagan akun industri yang telah lazim digunakan, membantu perusahaan mengenali aspek-aspek yang muncul kemudian.
Pada contoh di bawah ini, bagan akun disusun sistematis untuk cukup banyak sub-sub ledger untuk mendukung sistem informasi perusahaan.  Namun, dalam aplikasi yang lebih komprehensif, sebagian turun ke level modul.  Mengapa?, karena berbagai akumulasi proses dan kinerja perusahaan membutuhkan dianalisis lebih tajam.  Oleh karena itu, bagan akun lebih sederhana dan sebagain turun ke level operasional.
Contoh Bagan Akun :
1000 AKTIVA
1010 KAS Operasi Account
1020 KAS debitur
Petty Cash KAS 1030

PIUTANG 1200
1210 Perdagangan
1220 Perdagangan Catatan Piutang
1230 Piutang Angsuran
1240 Laba ditahan
1290 Penyisihan Piutang Tagihan

1500 PERSEDIAAN  (Inventory)
1310 Inventory : Reserved
1320 Work-in-Progress
1330 Barang Jadi
1340 Barang dicadangkan (kerugian)
1350 Yang belum ditagihkan Biaya & Biaya
1390 Cadangan Barang Rusak

1400 AKTIVA LANCAR LAIN &
1410 Pembayaran Asuransi
1420 Pembayaran Pajak
1430 Perbaikan & Pemeliharaan
1440  Sewa
1450 Simpanan

1500 AKTIVA TETAP
1510 Bangunan
1520 Mesin & Peralatan
1530 Kendaraan
1540 Peralatan komputer
1550 Furniture & Fixtures
1560 Perbaikan kantor disewa


1600 AKUMULASI PENYUSUTAN & AMORTISASI
1610 Akumulasi Depresiasi/Apresiasi  Bangunan
1620 Mesin & Peralatan
1630 Akumulasi Depresiasi Kendaraan
1640 Akumulasi Depresiasi Peralatan Komputer
1650 Akumulasi Depresiasi Furnitur
1660 Akumulasi Depresiasi Perbaikan Kantor dan Rumah Dinas


1700 PIUTANG LANCAR
1710 Catatan Piutang
1720 Piutang Angsuran
1730 Pembayaran Proyek/Kontrak yang ditahan

1800 piutang antar perusahaan

1900 AKTIVA LANCAR NON-LAIN
1910 Biaya Organisasi
1920 Paten & Lisensi
1930 Aktiva tidak berwujud : Biaya Perangkat Lunak Kapitalisasi

2000 KEWAJIBAN

2100 HUTANG
2110 Kewajiban Perdagangan
2120 A/P masih harus dibayar Hutang Usaha
2130 Kewajiban yang masih harus dibayar/Ditahan
2150 yang jatuh tempo dari Hutang Jangka Panjang
2160 Bank Wesel Bayar
2170 Konstruksi Pinjaman Hutang

2200 KOMPENSASI MASIH HARUS & HUBUNGAN ITEMS
2210 Kompensasi yang masih harus dibayar.
2220 Komisi yang masih harus dibayari
2230 Pembayaran Pajak Karyawan yang yang masih harus dibayar
2280 Kompensasi Kesehatan
2285 Kontribusi Karyawan

2300 BEBAN MASIH HARUS DIBAYAR.
2310 Sewa
2320 Bunga
2330 Pajak Harta/Properti
2340 Beban Garansi
2500 PAJAK MASIH HARUS DIBAYAR
2510 Pajak Daerah
2520 Pajak yang masih harus dibayar
2530 yang masih harus dibayar - Waralaba Pajak
2540 Pajak yang ditangguhan
2550 Pajak Penghasilan Tangguhan Negara


2600 PAJAK TANGGUHAN

2700 UTANG JANGKA PANJANG
2710 Catatan Hutang
2720 Mortgages Hutang
2730 Angsuran Hutang Catatan

2800 HUTANG

2900 Bukan KEWAJIBAN LANCAR LAINNYA

3000 EKUITAS

3100 Saham Biasa
3200 Saham Yang Dipilih.
3300 Modal Disetor
3400 Modal Mitra
3500 Kontribusi Anggota
3900 Saldo Laba

4000 PENDAPAPATAN
4010 PENDAPATAN – Group PRODUK 1
4020 PENDAPATAN – Group PRODUK 2
4030 PENDAPATAN – Group PRODUK 3
4600 Pendapatan Bunga
4700 Penghasilan
4800 Pendapatan Biaya Keuangan
4900 Penjualan Kembali dan Tunjangan
4950 Penjualan Diskon
495001 Line Diskon
495002 Total Diskon


5000 BEBAN POKOK PENJUALAN
5010 HPP – Group PRODUK 1
5020 HPP – Group PRODUK 2
5030 HPP – Group PRODUK 3
5040 HPP - Material
5700 Pengangkutan
5800 Penyesuaian Persediaan
5900 Pembelian Barang dan Tunjangan
5950 Cadangan.


6000 - 7000 BEBAN USAHA
6010 Beban Iklan
6050 Biaya Amortisasi
6150 Beban Hutang Buruk
6200 Biaya Bank
6250 Kas dan Pendek
6300 Beban Komisi
6350 Beban Penyusutan
6.400 Beban Program Manfaat Bagi Karyawan.
6.550 Beban Pengangkutan.
6.600 Beban Hadiah
6650 Asuransi - Umum
6700 Beban Bunga
6750 Biaya Profesional
6800 Beban Lisensi
6850 Biaya Pemeliharaan
6900 Makanan dan Hiburan
6950 Beban Kantor
7000 Payroll Pajak
7050 Percetakan
7150 Pos
7200 Sewa
7.250 Beban Perbaikan
7300 Beban Gaji
7350 Beban Persediaan
7400 Pajak - Beban FIT
7500 Beban Utilitas
7900 Laba/Rugi Penjualan Aktiva


Subledger :

100 GAJI & UPAH
110 Perkecualian
120 Non-Perkecualian
130 Pejabat
140 Insentif
150 Komisi
160 Lembur


200 Tunjangan
210 Alokasi untuk Departemen Lain
220 Bantuan Pendidikan / Pelatihan & Educ
230 Asuransi - Pekerja Proyek
240 Asuransi - Kedokteran & Gigi
250 Asuransi - Kelompok Jaminan Masa Tua
260 Manfaat Karyawan Lainnya Miscellaneous
270 Pajak - PHK


300 Perjalanan
310 Perjalanan Udara (pesawat)
320 Penginapan
330 Makanan
340 Hiburan
350 Sewa otoamtis
360 Beban Otomatis lainnya
370 Konvensi/Seminar
380 Lain-lain
390 Telp/Handphone/pager


400 BEBAN LAIN LAIN-LAIN
410 Hutang Tak Tertagih
420 Biaya Bank
430 Komputer & Software Terkait
440 Kontribusi / Sumbangan
450 Iuran & Langganan
460 Asuransi & Umum
470 Kantor Kebutuhan & Beban
480 Beban Pos dan Materai
490 Beban Pajak & Lisensi


500 Hal Khusus
510 Biaya Periklanan
520 Biaya Hukum
530 Akuntansi
540 Konsultan Biaya
550 Beban Promosi
560 Biaya Rekruitmen
570 Biaya Kontrak Kerja
580 Biaya Pelayanan kebersihan
590 Biaya Keamanan


600 Biaya Sewa
610 Sewa Kantor
620 Sewa Alat Rentals
630 Rentals Peralatan Kantor
640 Sewa Kendaraan Sewa


700 FASILITAS
710 Telepon & Fax
720 Utilitas
730 Listrik
740 Air
750 Perbaikan - Bangunan
760 Perbaikan - Peralatan Kantor
770 Pajak Real Estat


800 NON - KAS BEBAN
810 Amortisasi - Perbaikan kantor disewa
820 Amortisasi - Aktiva tidak berwujud
830 Penyusutan - Bangunan


900 NON PENGHASILAN
910 Pendapatan Bunga
920 Laba (Rugi) Penjualan Investasi
930 Pendapatan Lainnya
900 - 910 Pendapatan Non Operasional  920 Beban Bunga dan Penerbitan Amortisasi Beban Hutang.

19 February 2012

Persepsi Konsumen Terhadap Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Pada Barang Elektronika di Kota Malang

BAB I
PENDAHULUAN

            1.1 Latar Belakang
Sistem pajak pertambahan nilai (PPN) baru diterapkan pada tahun 1985, dan diatur dalam UU No 8 tahun 1985 yang kemudian disempurnakan oleh UU No 11 tahun 1994. Pajak ini dimaksudkan sebagai pengganti pajak penjualan dan pajak penjualan impor. Dibandingkan dengan dua pajak tersebut, PPN memiliki basis yang lebih luas karena tidak hanya meliputi produsen pabrikan, tetapi juga mencakup distributor, agen besar dan penjual eceran. Ketika ketentuan PPN diterapkan pada tahun 1985, maka penerimaan PPN langsung meningkat tajam. Tingginya penerimaan PPN disebabkan oleh dua faktor, yaitu adanya basis pajak yang lebih luas dan tambahan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang tarifnya 10% diatas tarif PPN. Karena PPN ini merupakan pengganti pajak penjualan atau timbul karena adanya barang atau jasa yang ditransaksikan maka PPN termasuk pajak obyektif. Menurut Adriani dalam Brotodihardjo,1982:90, menyatakan bahwa pajak obyektif dimulai denganan obyeknya seperti keadaan, peristiwa, perbuatan dan lain – lain kemudian dicari orang atau subyek yang harus membayar pajaknya. Keadaan subjektif subyek pajak tidak relevan, walaupun dalam kasus – kasus tertentu ikut dipertimbangkan. Selain PPN & PPnBM, yang termasuk pajak ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor. 
Sesuai dengan legal karakternya sebagai pajak objektif maka PPN tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya. Konsumen yang memiliki kemampuan tinggi dengan konsumen yang memiliki kemampuan rendah diperlakukan sama. Dengan demikian PPN mengandung unsur regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen semakin berat beban pajak yang dipikul. Sebagaiman diketahui UU PPN 1984 menerapkan tarif tunggal, yang justru lebih mempertajam dampak regresif (Sukarji,2005:148). Contoh yang dapat menggambarkan dampak regresifitas adalah sebagai berikut :
Amalia, seorang pegawai honorer di instansi pemerintah dengan penghasilan satu bulan Rp.500.000,-. Sedangkan Titik adalah seorang pengusaha dengan penghasilan bersih perbulan Rp. 2.000.000,- mereka membeli sepeda masing – masing seharga Rp.100.000,-. Untuk itu mereka harus membayar PPN masing – masing sebesar 10 % atau Rp.10.000,-. Walaupun tarifnya sama 10%, namun apabila dihitung beban pajaknya akan berlainan, yaitu :
Amalia : Penghasilan = Rp.   500.000,-
  Konsumsi = Rp.   100.000,-
  PPN 10% = Rp.     10.000,-
    
Titik :  Penghasilan  = Rp.2.000.000,-
  Konsumsi = Rp.   100.000,-
  PPn 10% = Rp.     10.000,-
    

Untuk mengurangi regresifitas ini, konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan beban pajak tambahan berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Tentang hal ini, tersirat baik dalam memori penjelasan bagian umum maupun memori penjelasan pasal 5 UU PPN 1984 yang antara lain menegaskan bahwa atas konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai upaya nyata untuk mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Diharapkan dengan pengenaan pajak tambahan berupa PPnBM terhadap konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah, maka dampak regresif ini dapat ditekan.  Dengan kata lain asas keadilanlah yang melatar belakangi adanya pungutan lain selain PPN untuk konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. Suatu sistem pemungutan pajak akan mendekati asas keadilan apabila beban pajak yang dipikulkan oleh wajib pajak sepadan dengan kemampuannya.  
Tapi kemudian menjadi masalah ketika definisi barang mewah di masyarakat cepat berubah dan bergeser. Contoh yang mudah ditemui adalah telepon seluler. Lima tahun yang lalu telepon seluler merupakan yang mewah karena selain harganya yang mahal juga jangkauan penerimaannya juga terbatas untuk daerah tertentu saja yang kebanyakan adalah perkotaan. Tapi lain yang terjadi sekarang hampir semua lapisan masyarakat mengkonsumsi telepon seluler bahkan sudah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari. Dilain pihak peraturan yang mengatur barang kena pajak yang tergolong mewah tidak bisa mengantisipasi perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut. 
Selain hal tersebut diatas perilaku konsumen juga mengalami pergeseran yang sangat signifikan baik secara individu maupun lingkungan ataupun keterkaitan antara keduanya. Bahkan dewasa ini perilaku konsumen tidak berasal dari konsumen tapi produsen bisa menciptakan perilaku konsumen untuk konsumennya. Contohnya adalah air minum dalam kemasan. Sebelum air minum dalam kemasan diproduksi, masyarakat memenuhi kebutuhan air minum sendiri dengan memasak air, kemudian produsen mengenalkan air minum dalam kemasan ke masyarakat luas disertai usaha untuk menciptakan persepsi bahwa air minum dalam kemasan lebih sehat, hegienis dan praktis. Kemudian pola konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan air minum berubah, dari memasak sendiri menjadi membeli produk air minum dalam kemasan. 
Struktur masyarakat dan etnis menentukan sebagian besar dari apa yang dibeli dan digunakan oleh konsumen individual. Sistem hukum dan pemerintahan adalah bagian dari budaya suatu bangsa. Sistem tersebut menetukan apa yang dapat ditawarkan oleh penyuplai, cara – cara barang dapat dipasarkan dan tingkat dimana konsumen dibolehkan bertindak berdasarkan preferensi mereka. Apakah negara – negara akan mencurahkan sumber daya mereka untuk militer, industri atau barang konsumen. Apakah suatu bangsa akan menghasilkan mobil yang baik atau tank yank yang baik? Pendidikan yang baik atau kesehatan yang baik?  Komputer yang baik atau musik yang baik? Dan karena ketidakjenuhan permintaan mendiktekan bahwa tidak akan pernah cukup untuk semua, apakah barang ini harus tersedia terutama untuk kaum tua atau muda? Untuk kelompok etnis atau agama mana? Untuk orang yang berpendidikan terbaik atau untuk anggota dari keluarga “yang tepat” atau orang dari partai yang berkuasa? Pilihan seperti ini terjepit kuat oleh budaya dimana individu merupakan bagian darinya.
Perpajakan yang didalamnya terdapat unsur PPN dan PPnBM merupakan juga bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah secara berlebihan pada umumnya dilakukan kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi merupakan kegiatan yang kontraproduktif. Oleh karena itu, kegiatan konsumsi seperti ini perlu dikurangi. Salah satu sarana yang dapat ditempuh adalah diberikannya beban pajak tambahan terhadap kegiatan mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. Motif diatas itulah maka dengan kata lain, pemerintah dengan kebijakan fiskalnya yang termaterialkan dalam PPnBM, berusaha untuk mempengaruhi perilaku konsumen khususnya pola konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah.
Tetapi PPN berbeda dengan PPnBM. Bahkan bisa dikatakan bahwa PPnBM merupakan pajak yang kurang populer dimasyarakat umum. Hal itu bisa disebabkan karena karekter dari PPnBM itu sendiri yaitu; merupakan pungutan tambahan disamping PPN dan hanya dipungut satu kali yaitu pada saat import dan penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pabrikan. Yang selanjutnya tidak ada mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan. PPnBM oleh distributor akan dimasukkan ke harga pokok barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut.
Maka tidak heran ada beberapa konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut tidak mengetahui tentang PPnBM. Karena dari pihak Direktorat Jendral Pajak hanya mengsosialisasikan PPnBM ke importir dan PKP pabrikan. 
Salah satu kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah adalah barang elektronika. Barang elektronika yang dikenakan PPnBM antara lain TV diatas 21’,  air conditioner (AC), radio cassette, mesin cuci, alat perekam atau reproduksi gambar, alat fotografi dan lain – lain. Bahkan bisa dikatakan sebagian besar kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor adalah barang elektronika. Di masyarakat sendiri barang elektronika merupakan barang yang paling cepat mengalami reposisi, yaitu dari barang mewah ke barang yang banyak dikonsumsi hampir semua lapisan masyarakat. Bahkan pada tanggal 30 Januari 2003 dengan keluarnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.51/2003 sebanyak 20 item barang elektronika dikeluarkan dari kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang berarti tidak dikenakan lagi PPnBM serta 9 item barang elektronika yang mengalami penurunan tarif PPnBM.  
Oleh karena itu penulis ingin mengangkat uraian diatas dengan judul  Persepsi Konsumen Terhadap Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Pada Barang Elektronika di Kota Malang”


                    1.2 Permasalahan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan yang timbul adalah bagaimana persepsi konsumen terhadap keberadaan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) barang elektronika di kota Malang.
Penelitian ini membatasi permasalahan persepsi konsumen tersebut dari dua hal, yaitu stimuli fisik (physical stimuli) yang datang dari lingkungan sekitar dan stimuli yang berasal dari dalam individu itu sendiri.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi konsumen barang elektronika di kota Malang terhadap keberadaan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).

1.4 Kontribusi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam :
1. Mensosialisasikan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) kepada konsumen barang kena pajak yang tergolong mewah terutama barang elektronika.
2. Memberikan bukti empiris lebih lanjut pada literatur Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), khususnya dalam aspek persepsi konsumen sebagai pihak yang mengkonsumsi barang mewah yang dikenakan PPnBM.
3. Memberikan masukan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang pajak konsumsi dalam persepsi konsumen.
4. Memberikan masukan (input) kepada pihak fiskus atau pemerintah selaku pembuat peraturan mengenai perpajakan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan tarif, mekanisme pemungutan dan hal lain yang menyangkut perpajakan khususnya pajak konsumsi.



PERENCANAAN PAJAK MELALUI METODE PENYUSUTAN DAN REVALUASI AKTIVA TETAP UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PERUSAHAAN (STUDI KASUS PADA PERUSAHAAN GM)

28 10 2007
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi atau biasa disebut dengan krisis ekonomi. Di dalam kondisi ekonomi saat ini, banyak perusahaan mengalami gulung tikar atau memutuskan untuk menutup usahanya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya meningkatnya tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (dollar) yang mengalami penurunan. Pada tahun 1997 nilai tukar dollar sebesar Rp 2.300, 00 sampai Rp 5.000,00 per US $ 1, bahkan pada tahun 1998 nilai tukar dollar mencapai Rp 16.000,00 per US $ 1. Sebagai akibatnya perusahaan harus mengeluarkan biaya usaha yang besar untuk membiayai kegiatan usahanya, tetapi dengan pengeluaran yang besar tersebut, perusahaan tidak mendapatkan penghasilan yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkannya. Hal ini akan lebih terasa pada perusahaan yang mempunyai pinjaman atau hutang berupa dollar dalam jumlah yang besar, perusahaan yang tergantung pada barang impor atau perusahaan yang masih tergantung pada pihak asing.  Selain itu dampak dari krisis ekonomi menjadikan konsumsi masyarakat cenderung menurun atau daya beli menjadi rendah, akibatnya permintaan pasar terhadap produk sangat terbatas.
Dalam keadaan seperti ini, maka pemimpin perusahaan atau biasa disebut manajer perusahaan harus dapat menentukan keputusan serta tujuan dari perusahaan yang dipimpin atau dikendalikannya. Tugas manajer perusahaan adalah mengambil keputusan yang didasarkan pada keterpaduan antara fungsi bisnis yang meliputi bidang pemasaran, produksi, keuangan sumber daya manusia, penelitian serta pengembangan, dan fungsi manajerial yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan serta pengawasan. 
 Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan maka diperlukan suatu strategi yang diterapkan di dalam perusahaan antara lain:
            1. Meningkatkan produksi barang yang lebih sesuai dengan pasar.
            2. Menurunkan harga jual produk.
            3. Efisiensi sumber daya dan biaya produksi, diantaranya dengan:
            1. Mengurangi jam kerja tenaga kerja.
            2. Memperketat kehadiran dari para pekerja.
            3. Menghemat penggunaan bahan baku serta bahan penolong.
            4. Meningkatkan standar mutu perusahaan.
            5. Menggunakan bahan substitusi dalam memproduksi.
            6. Memperketat pengawasan tenaga kerja dalam proses produksi.

4. Meminimalkan beban pajak yang ditanggung perusahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
1.      Perencanaan perpajakan untuk penyusutan aktiva tetap perusahaan.
2.      Perencanaan perpajakan melalui penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan.
3.      Perencanaan perpajakan berdasarkan penentuan harga transfer (transfer pricing) perusahaan.
4.      Perencanaan perpajakan melalui manajemen persediaan.
5.      Perencanaan perpajakan dengan mendefinisikan revenue dan expense perusahaan. 
6.      Perencanaan perpajakan melalui pembelian aktiva.
7.      Perencanaan perpajakan melalui pemberian imbalan berupa uang atau berupa ventura.
8.      Perencanaan perpajakan melalui pemberian tunjangan berupa uang makan atau berupa makan.
9.      Perencanaan perpajakan melalui pembiayaan berupa obligasi.
10.  Perencanaan perpajakan dengan menangguhkan pendapatan.
11.  Perencanaan perpajakan dengan mempercepat atau segera membiayakan pengeluaran.
Dari beberapa pilihan alternatif yang ada untuk membantu mempertahankan perusahaan dalam menjalankan usahanya, peneliti ingin mengkaji lebih dalam tentang perencanaan perpajakan yang berkaitan dengan aktiva tetap, yaitu metode penyusutan aktiva tetap perusahaan dan penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap perusahaan. Hal ini penting, karena tidak semua perusahaan mengetahui tentang metode atau cara ini. Aturan pajak tentang penyusutan dan revaluasi ada dalam Undang Undang Pajak Penghasilan beserta aturan-aturan penjelas dan pelaksanaan yang ada dibawahnya, diantaranya Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap Perusahaan. Selain itu, kalaupun manajer perusahaan mengetahui metode atau cara tersebut, tidak semua perusahaan memutuskan untuk menggunakan cara ini, karena ada beban lain yang harus ditanggung perusahaan yaitu adanya PPh final sebesar 10% atas selisih revaluasi aktiva tetap perusahaan tersebut.
Ada beberapa penelitian studi kasus yang meneliti tentang penyusutan dan revaluasi aktiva tetap perusahaan sebelumnya. Namun, belum ada kesatuan kesimpulan atas penelitian tersebut. Oleh karena itu peneliti ingin menguji kembali dan menambahkan unsur nilai waktu dari uang untuk mengetahui berapa besar pengaruh perencanaan pajak ini dengan lebih tajam.   
 Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin menetapkan judul penelitian skripsi ini sebagai berikut: “Perencanaan Pajak Melalui Metode Penyusutan Dan Revaluasi Aktiva Tetap Untuk Meminimalkan Beban Pajak Perusahaan (Studi Kasus Pada Perusahaan GM)”. 

1.2  RUMUSAN MASALAH
a.      Bagaimana pengaruh perencanaan metode penyusutan aktiva tetap terhadap beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan.
b.      Bagaimana pengaruh perencanaan revaluasi aktiva tetap terhadap beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan.
c.       Berapa penghematan pajak atas perencanaan pajak pada pembiayaan metode penyusutan dan revaluasi aktiva tetap yang tepat dengan mempertimbangkan faktor nilai waktu dari uang.

1.3  BATASAN MASALAH
a.      Penelitian ini dilakukan pada Perusahaan GM, sehingga tidak dapat digeneralisasikan pada perusahaan lain.
b.      Pada penelitian ini data utama diperoleh berdasarkan data sekunder yaitu laporan keuangan, serta data pendukung berupa observasi serta wawancara terstruktur.
c.       Data yang diambil adalah data mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2005.
d.      Peraturan yang digunakan adalah peraturan Perpajakan Indonesia.
e.      Laporan keuangan perusahaan diasumsikan benar.  

1.4  TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.4.1  Tujuan Penelitian
a.      Mengetahui pengaruh metode penyusutan aktiva tetap terhadap beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan.
b.      Mengetahui pengaruh revaluasi aktiva tetap terhadap beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan.
c.       Mengetahui jumlah penghematan pajak mempertimbangkan nilai waktu dari uang.

1.4.2  Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini manfaat yang diperoleh adalah:
1.      Sebagai penambah wawasan pada perusahaan tentang usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang-Undang (Tax avoidance).
2.      Sebagai masukan pada Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan kinerja dalam menentukan atau menetapkan suatu kebijakan sehingga dapat mengurangi kebocoran-kebocoran dalam bidang perpajakan.
3.      Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta untuk mengevaluasi sejauh mana sistem pendidikan telah dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
4.      Sebagai bahan referensi, sumbangan bagi peneliti lain yang berkeinginan melakukan pengamatan secara mendalam, khususnya pada kajian atau permasalahan yang serupa.



ANALISA EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PAJAK MELALUI SISTEM RETRIBUSI DAN SISTEM KETETAPAN PAJAK SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP PENERIMAAN ASLI DAERAH KABUPATEN MALANG

28 10 2007
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya pajak merupakan iuran wajib rakyat kepada negara. Dari pajak ini yang mana akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan.  Sejak tahun 1999 pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah.  Pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat terdiri dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.  Untuk pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri. Dasar dilakukan pemungutan oleh pemerintah  daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mengatakan bahwa bahwa Pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah Pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi mendominasi mereka.  Peran Pemerintah Pusat dalam konteks Desentralisasi ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.  Dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Langkah – langkah yang perlu dimbil dengan cara menggali segala kemungkinan sumber keuangannya sendiri sesuai dengan dan dalam batas-batas peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk merealisasikan pelaksanaan Otonomi Daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung pada peranan PAD.  Hal ini diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu Pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan.  Dengan ini akan semakin memperbesar keleluasaan daerah untuk mengarahkan penggunaan keuangan daerah sesuai dengan rencana, skala prioritas dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta melaksanakan pembangunan daerah, maka daerah membutuhkan sumber-sumber penerimaan yang cukup memadai.  Sumber-sumber penerimaan daerah ini dapat berasal dari bantuan dan sumbangan pemerintah pusat maupun penerimaan yang berasal dari daerah sendiri.  Namun, perlu digaris bawahi bahwa tidak semua daerah memiliki kekayaan alam.  Hal ini tentu akan membuat daerah yang kaya akan potensi daerah yang dimiliki akan semakin maju yang mana tentunya bertolak belakang bagi daerah yang memiliki potensi yang kurang.  Kiranya dengan ini asas ini pemerintah perlu memberikan jalan keluar agar seluruh daerah yang ada di Indonesia berkembang secara merata.
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Pendapatan Asli Daerah sendiri terdiri dari :
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah
c. Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Lain-lain PAD yang sah.  

Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah mempunyai peranan penting dalam pembangunan.  Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dimana peranan PAD diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah.  Oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri.  Dengan demikian akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang bersifat mandiri.
Kabupaten Malang sebagai bagian dari Propinsi Jawa Timur  tentunya memerlukan dana yang cukup besar dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan daerah di berbagai sektor. Dana pembangunan tersebut diusahakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah dan bersumber dari penerimaan pemerintah daerah Kabupaten Malang sendiri. Sumber pembiayaan kebutuhan pemerintah yang mana biasa dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berasal dari pengolahan sumber daya yang dimiliki daerah di samping penerimaan dari pemerintah propinsi, pemerintah pusat serta penerimaan daerah lainnya.  Sejalan dengan upaya untuk mengingkatkan serta menggali sumber-sumber penerimaan daerah, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Malang berusaha secara aktif untuk meningkatkan serta menggali sumber-sumber penerimaan daerah terutama penerimaan yang berasal dari daerah sendiri.  Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam pembiayaan pembangunan daerah.
Kemampuan keuangan daerah di dalam membiayai kegiatan pembangunan didaerah merupakan pencerminan dari pelaksanaan otonomi di daerah. Untuk melihat kemampuan Pemeritah Kabupaten Malang dalam menghimpun penerimaan daerah baik penerimaan yang berasal dari sumbangan dan bantuan pemerintah pusat maupun penerimaan yang berasal dari daerah sendiri.  Hal ini dapat dilihat dalam APBD yang biayanya bersumber dari PAD dengan tingkat kesesuaian yang mencukupi pengeluaran pemerintah daerah.
Upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah tentunya tidak terlepas dari peranan masing-masing komponen Pendapatan Asli Daerah.  Komponen yang ada seperti penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah, penerimaan dinas-dinas serta penerimaan daerah lainnya.  Ini merupakan beberapa komponen yang menjadi sumber penerimaan daerah dimana tentunya akan terus digali baik yang sudah ada maupun sumber penerimaan baru yang potensial.
Jenis-jenis Pajak Daerah yang ditetapkan dan dapat dipungut oleh Pemerintah Kabupaten Malang dalam upaya menghimpun dana guna meningkatkan kualitas maupun kuantitas pembangunan daerah saat ini terdiri atas delapan jenis Pajak Daerah (Dispenda Malang), antara lain Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan galian Golongan C, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,  Pajak Parkir dan pajak sarang burung.
Untuk dapat memungut pajak tersebut pemerintah menggunakan sistem pemungutan melalui official assessment sistem dan self assessment system . Sistem pemungutan ini dilakukan melalui dua cara yaitu surat ketetapan pajak dan retribusi.  
Dari kedua cara ini diharapkan target pemenuhan penerimaan pajak dapat terealisasi. Pada tabel 1.1 target dan penerimaan pajak daerah yang diharapkan melalui kedua cara tersebut adalah sebagai berikut: 
Tabel 1.1
Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten Malang 
Tahun 2003 Hingga 2005

Sumber : Dinas Pendapatan Kabupaten Malang
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 hingga 2005 target penerimaan pajak rata – rata selalu tercapai bahkan melebihi target yang ditetapkan. Namun yang menjadi perhatian adalah dari hasil realisasi tersebut menunjukan  bahwa pemerintah dari tahun ke tahun menetapkan terget yang cenderung tetap. Berdasar pada perkembangan realisasi pajak sebenarnya pemerintah dapat meningkatkan target penerimaan pajaknya.  Hal ini dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak mengetahui potensi yang dimiliki oleh daerahnya tersebut.
Dari beberapa macan pajak tersebut yang hendak menjadi perhatian adalah penerimaan pajak dari sektor pengolahaan bahan galian golongan C.  Pada sektor ini nilai reralisasi yang tercapai tidak terlalu besar dibandingkan dengan pajak yang lainnya. Dari perkembangan penerimaannya dari sektor pajak ini telah mengalami penurunan pada tahun 2005 sebesar 2,42 % dibandingkan dengan sektor pajak yang lainnya. Dari dasar ini dapat diketahui bahwa dari sektor pajak daerah belum terlalu memberikan pemasukan dari sistem pemungutannya.  Dasar ini yang menjadikan penulis ingin melakukan penelitian terhadap sistem pemungutan yang dilakukan terhadap sektor pajak daerah khususnya pajak bahan galian gol C.  Hal tersebut dikarenakan mengingat pajak yang lain mengunakan sistem yang sama.  Sehingga penulis merumuskannya dalam skripsi dengan mengangkat judul “Analisa efektifitas pemungutan pajak bahan galian golongan C melalui retribusi dan surat ketetapan pajak serta kontribusinya terhadap penerimaan asli daerah Kabupaten Malang.”
1.2. Perumusan Masalah.
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.      Sejauhmana efektifitas yang dihasilkan sistem pemungutan melalui  retribusi dan surat ketetapan pajak dari pajak bahan galian Gol. C.
2.      Berapa kontribusi yang diberikan sistem retribusi dan sistem ketetapan pajak ini terhadap Pendapatan Asli Daerah dari pajak bahan galian golongan C. 

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengatahui efektifitas yang dihasilkan dari sistem pemungutan yang dipakai bagi penerimaan daerah Kabupaten Malang.
2.      Untuk mengetahui besarnya kontribusi yang diberikan terhadap Penerimaan Asli Daerah.

1.3.2.Manfaat Penelitian
1.      Secara akademik untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai kebulatan studi program strata satu (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang.
2.      Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam mengambil kebijaksanaan dalam uahanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah guna membiayai pembangunan daerah khususnya penerimaan yang berasal dari pajak daerah. Diharapkan sebagai bahan dan informasi bagi peneliti selanjutnya terhadap masalah dan tempat yang sama dengan kajian yang lebih mendalam untuk meningkatkan penerimaan pajak bahan galian golongan C di Kabupaten Malang



PROSEDUR PENGHITUNGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS GAJI PEGAWAI PADA KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA MADIUN

27 10 2007
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang Masalah
Pembangunan adalah kegiatan yang berkesinambungan dengan tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Pembangunan dapat dilaksanakan dengan lancar apabila ada sumber dana yang mendukung. Menurut APBN sumber pendapatan terbanyak didapat dari sektor perpajakan  meskipun masih banyak sektor lain seperti minyak dan gas bumi, serta bantuan luar negeri. Hal ini bisa dibuktikan saat negara kita dilanda krisis berkepanjangan sampai saat inipun masih diragukan apakah negara kita bisa menumbuhkan keadaan perekonomian, sektor pajak masih tetap memiliki nilai besar bahkan mengalami kenaikan serta menembus sampai pada prosentase terbesar dari sektor non migas sementara sektor non migas cenderung mengalami penurunan dan juga bantuan luar negeri yang bunganya bisa membesar seiring fluktuasi mata uang dolar terhadap rupiah. Diharapkan pemasukan dari pajak terus dinaikkan salah satunya dengan mengadakan kebijakan–kebijakan baru seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan cara meningkatkan jumlah pajak dan obyek pajak baru sedangkan intensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak, suatu misal dengan cara pengadaan penyuluhan langsung pada masyarakat. Dengan banyaknya perusahaan baru yang muncul ataupun yang sudah lama serta instansi–instansi pemerintah diharapkan pemasukan dari pajak penghasilan yang digunakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional nantinya.
            Pajak merupakan iuran wajib yang diberlakukan pada setiap wajib pajak atas obyek pajak yang dimilikinya dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Jenis pajak yang diberlakukan di Indonesia diantaranya adalah Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Hadiah dan lain-lain.
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut pada obyek pajak atas penghasilannya. Pajak penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Pajak yang berlaku bagi pegawai/karyawan adalah pajak penghasilan pasal 21. Undang-undang yang dipakai untuk mengatur besarnya tarif pajak, tata cara pembayaran dan pelaporan pajak adalah Undang-undang No.17 tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan bagi undang-undang terdahulunya yaitu Undang-undang No.10 tahun 1994. Undang-undang pajak penghasilan telah menetapkan sistem pemungutan pajak penghasilan secara self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Dengan sistem ini pemerintah berharap agar pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan dapat berjalan dengan lebih mudah dan lancar.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menulis mengenai bagaimana instansi/perusahaan menentukan besarnya pajak penghasilan pegawai atau karyawan yang harus dilaporkan dan disetor pemerintah dengan judul : 
“PROSEDUR PENGHITUNGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN (PPH) PASAL 21 ATAS GAJI PEGAWAI PADA KANTOR PELAYANAN PERBENDAHARAAN NEGARA (KPPN) MADIUN’’.

1.2. Ruang Lingkup PKN
Ruang Lingkup  yang dibuat dalam penyusunan laporan PKN ini agar dalam proses penulisan dan pembahasan tidak melebar dan dapat difokuskan pada suatu pokok bahasan, maka penulis berusaha membuat suatu ruang lingkup yang   meliputi :
1.      1. Untuk menghitung besarnya PPh pasal 21 berdasarkan data yang diperoleh dari    Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Madiun.
2.      Untuk mengetahui prosedur penghitungan dan pelaporan pajak penghasilanpasal  21 pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara  Madiun.

1.3. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan Laporan PKN
1.3.1. Tujuan Penulisan Laporan PKN 
Ada beberapa tujuan dari penulisan laporan PKN yaitu :
1.      Untuk membandingkan antara teori dan materi yang dipelajari pada masa kuliah dengan praktek nyata yang terjadi di dalam perusahaan atau instansi pemerintah.
2.      Untuk mengetahui apakah perusahaan atau instansi yang bersangkutan telah melakukan penghitungan dan pemotongan Pajak Penghasilan sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
3.      Sebagai media memberikan pemecahan-pemecahan yang dianggap perlu yang timbul antara teori dan penerapan penghitungan Pajak Penghasilan.
4.      Untuk mengetahui besarnya pajak yang diserahkan perusahaan/instansi yang bersangkutan pada pemerintah.

1.3.2. Kegunaan Penulisan Laporan PKN 
1. Bagi Mahasiswa adalah :
Guna memenuhi salah satu syarat kelulusan pada program D-3 Perpajakan.
·          Sebagai media untuk menambah wawasan dan menguji kemampuan mahasiswa berkaitan dengan penghitungan dan pelaporan PPh pasal 21.
·          Mendapatkan pengalaman praktis tentang kegiatan nyata dalam aktivitas perusahaan berkaitan dengan perhitungan dan pemotongan PPh pasal 21.
·          Sebagai sarana untuk memperdalam kreatifitas dan ketrampilan mahasiswa berkaitan dengan mata kuliah Perpajakan.
2. Bagi Perusahaan/instansi adalah :
-          Sebagai sumbangan informasi yang dapat dipakai sebagai bahan evaluasi untuk membantu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan Pajak Penghasilan pasal 21.
-          Sebagai sarana untuk menjalin hubungan kerja dengan lembaga pendidikan yang bersangkutan.

   3.   Bagi lembaga pendidikan adalah :
-          Sebagai sarana evaluasi sampai sejauh mana sistem atau kurikulum pendidikan yang dijalankan secara praktis dalam perusahaan/instansi.
-          Sebagai tolak ukur kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan pajak Penghasilan pasal 21.
-          Sebagai media untuk menjalin hubungan kerja dengan perusahaan/instansi yang dijadikan sebagai tempat PKN.

 1.4. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam mengumpulkan data dan mengevaluasinya. Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode pengumpulan dan analisa data.

1.4.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data 
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data terdiri dari beberapa metode yaitu:
            1. Observasi (pengamatan).
Observasi ialah suatu teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian yang merupakan sumber data, sehingga data yang diperoleh benar-benar bersifat obyektif. Observasi atau pengamatan ini dilakukan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Madiun.
Data-data yang bisa diambil melalui metode ini :
            a. Data tentang proses perhitungan PPh pasal 21.
            b. Data daftar gaji.
            2. Interview (wawancara).
Interview merupakan suatu teknik pengumpulan data dimana peneliti melakukan wawancara langsung dengan obyek yang diteliti. Interview atau juga wawancara seperti halnya teknik observasi dilakukan secara bersamaan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Madiun. Dalam interview tidak lupa harus disiapkan pedoman apa yang akan ditanyakan.
Data yang dapat diperoleh melalui cara ini :
            a. Data jumlah pegawai.
            b. Data daftar gaji serta didasarkan atas apa gaji diberikan.
            3. Dokumentasi.
Dokumentasi ialah suatu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan data-data yang ada dalam dokumen instansi. Dokumentasi data dilakukan di kantor Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Madiun.
Melalui metode ini data yang mungkin dapat diambil adalah :
            a. Data daftar gaji beserta tunjangan dan potongan-potongan yang dikenakan.
            b. Data perhitungan yang dilakukan dalam pemotongan PPh pasal 21.
            c. Sejarah pendirian instansi.
                         
1.4.2. Metode Analisa Data
      Untuk menganalisa data yang diperoleh, penulis mengadakan metode analisis data yaitu :
            a)  Data Kuantitatif.
Metode analisa data ini dilakukan hampir bersamaan saat langsung memperoleh data, dalam metode ini diperlukan kalimat pembanding antara data yang diperoleh dengan teori yang ada di literatur sehingga informasi dari pihak instansi dapat diketahui permasalahan yang ada, apa yang menyebabkan dan bagaimana akibatnya apabila masalah tersebut tidak segera diatasi dan pencarian solusi masalah. Data yang dianalisa adalah perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 yang dikenakan.
            b)  Data Kualitatif.
Metode analisa data ini berkaitan dengan data instansi yang berupa data non angka dan data tersebut seperti contohnya adalah kebijakan dari instansi dalam penentuan besarnya gaji dan besarnya tunjangan yang diperoleh oleh pegawai.

1.4.3. Sumber Data
   Dalam menyusun laporan tugas akhir ini penulis memerlukan data-data yang terbagi atas berbagai macam, meliputi :
   1) Data Primer.
 Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti dan    merupakan data yang bisa diolah dan belum diolah pihak lain, yang termasuk data primer : 
a.  Data tentang pemberian tunjangan dan potongan dari gaji pokok.
b. Data jumlah pegawai.
   2) Data Sekunder.
 Data sekunder yaitu data yang diperoleh tidak langsung yang merupakan data yang telah diolah. Dari data yang diperoleh dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Madiun, yang termasuk data sekunder adalah :
                        a.  Profil Instansi Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Madiun.
b. Bidang kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Madiun.

1.5. Sistematika Pembahasan
      Untuk mempermudah penyusunan dan pembahasan isi materi laporan ini kami akan membagi sistem pembahasan dalam 5 (lima) bab yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
   BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai bidang yang diteliti, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
   BAB II : LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang pengertian pajak, fungsi pajak, pengelompokan pajak, asas dan syarat pemungutan pajak, serta teori yang mendukung pemungutan pajak. Dalam bab ini juga menjelaskan tentang pengertian penghasilan, Pajak Penghasilan, obyek penghasilan, definisi pajak penghasilan pasal 21 beserta subyek dan obyeknya, pemotong pajak beserta hak dan kewajibannya, hak dan kewajiban wajib pajak PPh pasal 21, tata cara dan sistem pemungutan pajak.
   BAB III : KEGIATAN SELAMA PKN
Pada bab ini berisi gambaran umum lokasi PKN, observasi secara menyeluruh mengenai kegiatan yang ada khususnya dalam hal mekanisme perhitungan, pemotongan, penyetoran, sampai pada pelaporan.
   BAB IV : EVALUASI
Dalam bab ini berisi tentang evaluasi pada mekanisme perhitungan dan evaluasi tentang tata cara perhitungan dan pelaporan PPh pasal 21.
   BAB V : PENUTUP
Bab ini menyajikan kesimpulan-kesimpulan dari laporan PKN dan beberapa saran yang mungkin berguna bagi pihak instansi.



PENGARUH SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PADA PENGUSAHA KENA PAJAK (Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak Batu)

26 10 2007
ABSTRAKSI

Pajak merupakan tumpuan sumber penerimaan Negara, dan berdasarkan jenisnya Pajak Penghasilan (PPh) telah memberikan kontribusi terbesar, namun PPh hanya dapat dikenakan kepada mereka yang telah memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Hal tersebut tidak berlaku bagi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena pengenaan PPN dapat dilimpahkan kepada orang lain dan seperti yang kita ketahui bahwa hampir semua barang maupun jasa yang dikonsumsi di Indonesia merupakan Barang Kena Pajak (BKP), oleh karena itu PPN disebut juga sebagai pajak yang objektif. PPN sebagai penerimaan negara dipungut dengan menggunakan sistem self assessment yang memberikan wewenang bagi PKP untuk mendaftar, menghitung, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya sehingga  penulis tertarik untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh penerapan sistem self assessment terhadap penerimaan PPN pada PKP. Penelitian ini hanya melihat pelaksaan sistem murni dari sisi PKP sehingga variabel-variabelnya adalah variabel jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN yang disetor yang ketiganya merupakan sarana dan wujud nyata dari sistem self assessment yaitu wewenang wajib pajak untuk menghitung, melapor, dan menyetorkan sendiri pajak terutang. Lingkup penelitian ini adalah pada KPP Batu dengan menggunakan regresi linier berganda sebagai metode analisanya. Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan PPN namun hanya PKP saja yang memiliki arah negatif. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa SSP yang disetor merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi penerimaan PPN.
ABSTRACTION
Tax is the country main income revenue and due to of its type, Income Tax (PPH) has given the biggest contribution, but PPH can only be imposed to them which have owned income above Income That Not Taxable (PTKP). This was not applicable to Value Added Tax (PPN) because imposition of PPN can be overflowed to other people, and such as those which we know that most of all consumed service and also goods in Indonesia represent Taxable Goods (BKP), therefore PPN also referred as objective tax. PPN as the main income revenue is collected by using self assessment system which is giving authority to PKP to enlist, counting, calculating, and reporting by PKP itself. So the writer want to know how is the influence of applying self assessment system to the revenue of PPN for PKP. This Research only seeing the application pure system form PKP side so the variables is variable of the amount of PKP enlist, reported monthly SPT PPN, and also SSP PPN which remit third of the representation of real form and the medium of self assessment system that is taxpayer authority to count and calculate, report, and paying the tax liabilities by itself. This Research scope is at KPP Batu and using doubled linear regression as its analysis method. The research result have indicated that the third free variable in this research have significance influence to the revenue of PPN but only just PKP variable which have negative direction. Besides that the research results also indicate that SSP which paid is the most dominant variable which is influencing the revenue of PPN.
 


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG
 Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi. Naiknya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah.
 Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi.
Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan berusaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara. 
 Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama. Memang, dilihat dari segi penerimaan, Pajak Panghasilan dapat membantu negara dalam membiayai pengeluaran, namun tidak semua orang dapat dikenakan PPh. Pajak Penghasilan hanya dapat dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang telah berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Pajak Pertambahan Nilai, karena pajak tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain sehingga memungkinkan semua orang dapat dikenakan PPN. Dan juga seperti yang kita ketahui bahwa hampir seluruh barang-barang kebutuhan hidup rakyat Indonesia merupakan hasil produksi yang terkena PPN.
Dengan kata lain, hampir semua transaksi di bidang perdagangan, industri dan jasa yang termasuk dalam golongan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak pada prinsipnya terkena PPN. Oleh karena itu walaupun seseorang belum memiliki NPWP namun ia tetap terkena PPN namun dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak sebagai pihak yang berhak memungut PPN yang nantinya PPN yang dipungut tersebut akan disetorkan ke kas Negara.
Dalam melakukan pemungutan pajak tersebut Indonesia menganut tiga sistem, Official Assessment System, Self Assessment System, dan Withholding System. Ketiga sistem diatas mempunyai keistimewaan masing-masing. Namun yang memiliki peranan yang lebih dominan adalah pada self assessment system karena diterapkan pada sistem pemungutan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, serta sebagian pada Pajak Bumi dan Bangunan.
Pelaksanaan sistem yang baik akan dapat meningkatkan penerimaan karena semuanya dilakukan sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan. Penggunaan sistem self assessment menuntut Wajib Pajak untuk aktif dalam melaksanakan kewajiban maupun hak perpajakannya. Dilain pihak kondisi ekonomi saat ini, seperti tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, dan naiknya harga barang-barang akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, dan tentunya berpengaruh terhadap penerimaan PPN karena PPN adalah pajak atas konsumsi. Turunnya tingkat konsumsi konsumen juga akan mempengaruhi kondisi produsen dalam hal ini yang dimaksud adalah para Pengusaha Kena Pajak (PKP). 
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana pengaruh diterapkannya sistem self assessment tersebut pada para PKP dalam melaksanakan kewajiban PPN-nya terhadap penerimaan PPN. Penelitian yang dilakukan ini hanya melihat dari dalam sistem itu sendiri dan tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat, karena kenyataannya pelaksanaan sistem self assessment tersebut tidak memperhatikan bagaimana kondisi ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat karena bagaimanapun kondisinya sistem self assessment tetap harus berjalan dengan baik. 
Dengan argumen-argumen tersebut maka penulis menetapkan judul bagi penulisan skripsinya yaitu: “Pengaruh Self Assessment System Terhadap Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Pada Pengusaha Kena Pajak (Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak Batu).


1.2. RUMUSAN MASALAH
            1. Apakah variabel jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN yang disetor yang ketiganya merupakan sarana dan wujud nyata dari sistem self assessment yaitu wewenang wajib pajak untuk menghitung, melapor, dan menyetorkan sendiri  berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai?
            2. Dari ketiga variabel tersebut, variabel manakah yang paling besar mempengaruhi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai?


1.3. BATASAN MASALAH
            1. Sistem self assessment dalam penelitian ini dicerminkan dari variabel jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN yang disetorkan. 
            2. Batasan lokasi penelitian adalah pada Kantor Pelayanan Pajak Batu.
            3. Pada penelitian ini data diperoleh berdasarkan data sekunder, observasi serta wawancara tidak berstruktur tanpa menggunakan kuisioner.
            4. Data yang diambil adalah data per bulan sejak Januari 2003 sampai dengan Desember 2005. 
            5. Dasar penentuan variabel adalah tinjauan pustaka, penelitian sebelumnya, dan peraturan perundang-undangan.
            6. Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda.



1.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.4.1. Tujuan
            1. Mengetahui pengaruh penerapan sistem self assessment yang dicerminkan dari pertumbuhan jumlah PKP terdaftar, SPT Masa PPN yang dilaporkan, serta SSP PPN yang disetorkan terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak.
            2. Menganalisis variabel manakah yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.


1.4.2. Manfaat Penelitian
            1. Bagi Peneliti
Untuk menerapkan ilmu yang diperoleh dibangku kuliah dan mempraktekkannya sesuai dengan kondisi yang ada.
2. Bagi Instansi Terkait
Sebagai bahan informasi pelengkap atau masukan sekaligus pertimbangan bagi pihak-pihak yang berwenang yang berhubungan dengan penelitian ini dalam penetapan kebijakan pada pelaksanaan atau penggunaan suatu sistem pemungutan yang diterapkan pada Pajak Pertambahan Nilai untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak negara.
3. Bagi Fakultas
Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta untuk mengevaluasi sejauh mana sistem pendidikan telah dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai tambahan informasi dan masukan untuk membantu memberikan gambaran yang lebih jelas bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian mengenai perpajakan secara umum dan juga mengenai penerapan sistem self assessment terhadap Pajak Pertambahan Nilai.